قَالَ سَعْدُ بن عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ وَاللَّهِ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْ سَعْدٍ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، ومِنْ أَجْلِ ذَلِكَ بَعَثَ المُبَشِّرِينَ وَالمُنْذِرِينَ، وَلا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمِدْحَةُ مِنَ اللَّهِ وَمِنْ أَجْلِ ذلِكَ وَعَدَ اللهُ الْجَنَّةَ ( صحيح البخاري)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang tetap dan selalu melimpahkan kebahagiaan, rahmat dan anugerah kepada hamba-hambaNya sepanjang waktu dan zaman. Bulan Rabi’ Al Awwal yang penuh dengan keluhuran telah meninggalkan kita, bulan cinta dan kerinduan telah meninggalkan kita, kita tidak mengetahui apakah di tahun yang akan datang kita masih akan menemui bulan Rabi’ Al Awwal ataukah kita telah dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala.Meskipun bulan cinta dan kerinduan itu telah pergi meninggalkan kita, namun cahaya Rabi’ Al Awwal, cahaya sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tetap berpijar hingga zaman ini berakhir dan berganti dengan kehidupan yang kekal dan abadi, cahaya keluhuran sang nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menuntun hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala menuju cinta dan kasih sayangNya, menuju kelembutan dan pengampunanNya, hingga sedemikian banyak hamba-hambaNya sampai pada keluhuran, kebahagiaan, dan cinta Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala sangat mencintai hamba-hambaNya melebihi kecintaan antara makhluk satu sama lainnya. Sebagaimana riwayat hadits Shahih Al Bukhari yang kita baca ketika sayyidina Sa’ad bin Ubadah Ra berkata :
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ
“Jika aku melihat seorang lelaki bersama istriku, niscaya aku akan memukulnya dengan pedang tanpa ada pengampunan untuknya”.Sehingga sampailah kabar tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ وَاللَّهِ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْ سَعْدٍ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللَّهِ، ومِنْ أَجْلِ ذَلِكَ بَعَثَ المُبَشِّرِينَ وَالمُنْذِرِينَ، وَلا أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمِدْحَةُ مِنَ اللَّهِ وَمِنْ أَجْلِ ذلِكَ وَعَدَ اللهُ الْجَنَّةَ
“ Apakah kalian takjub dengan kecemburuan Sa’ad?, demi Allah sungguh aku lebih pencemburu daripada Sa’ad, dan Allah lebih pencemburu dariku, oleh karena kecemburuan Allah itu, Dia (Allah) mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak atau yang tersembunyi, dan tidak ada yang lebih menyukai memberi maaf dari Allah, oleh karena itu AAllah mengutus orang-orang yang memberi kabar gembira dan yang memberi peringatan (Utusan-utusan Allah). Dan tiada yang lebih menyukai pujian daripada Allah, oleh karena itu Allah menjanjikan surga”Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pencemburu daripada sayyidina Sa’ad dan hal ini menunjukkan bahwa kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih besar daripada seluruh cinta orang lain kepada yang lainnya. Kita ketahui bahwa cemburu munculnya dari cinta, maka jika ada seseorang yang mencintai orang lain melebihi kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merasa cemburu akan hal tersebut, dan Allah subhanahu wata’ala lebih pencemburu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menunjukkan bahwa kecintaan Allah subhanahu wata’ala lebih besar daripada kecintaan semua makhluk.
Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani menjelaskan di dalam Fath Al Bari tentang makna ucapan tersebut diantaranya adalah untuk memberi kefahaman dan penjelasan terhadap sayyidina Sa’ad bin Ubadah bahwa tidak seharusnya beliau marah berlebihan karena kecemburuannya itu, karena ia lebih berhak untuk lebih mencintai Allah subhanahu wata’ala dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam daripada kecintaannya kepada istrinya. Dan juga dapat kita fahami dari hadits tersebut bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin memalingkan perhatian para shahabat dari kebencian terhadap Sa’ad bin Ubadah dan membawa mereka untuk memahami bagaimana kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap seluruh ummat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah subhanahu wata’ala jauh lebih Mencintai seluruh makhlukNya daripada kecintaan makhlukNya kepada sesama. Kemudian disebutkan dalam hadits tersebut bahwa karena kecemburuan Allah itulah maka Allah subhanahu wata’ala mengharamkan perbuatan-perbuatan hina baik perbuatan yang secara terang-terangan ataupun yang tersembunyi.
Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani menjelaskan hal ini dimaksudkan bahwa Allah subhanahu wata’ala menginginkan hamba-hambaNya untuk tidak menjauh dari Allah subhanahu wata’ala, karena jika seorang hamba banyak melakukan perbuatan hina maka ia akan semakin dekat dengan kemurkaanNya dan menjauh dari kasih sayangNya. Namun demikian Allah subhanahu wata’ala Maha Pemaaf sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut, bahwa tiadalah yang lebih menyukai memaafkan (memberi maaf) daripada Allah subhanahu wata’ala, meskipun semua di alam semesta ini tidak memaafakan kita, namun Allah subhanahu wata’ala tetap memberi maaf, sehingga Allah subhanahu wata’ala mengutus para utusanNya dari nabi dan rasul untuk menuntun hamba-hamba yang terjebak dalam perbuatan dosa menuju kepada jalan yang luhur dan diridhai Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala menyediakan maaf bagi hamba-hamba yang terjebak dalam kehinaan, bahkan Allah subhanahu wata’ala menyukai memaafkan, maka janganlah pernah berputus asa bagi yang telah terjebak dalam kehinaan dosa. Dan disebutkan dalam hadits tersebut bahwa tiadalah yang lebih menyukai pujian daripada Allah, oleh karena itulah Allah subhanahu wata’ala menjanjikan surga (untuk orang-orang yang memujiNya), demikian riwayat yang terdapat dalam Shahih Al Bukhari. Adapun di dalam Shahih Al Muslim disebutkan : “oleh karena itulah Allah subhanahu wata’ala menciptakan surga”, yaitu untuk orang-orang yang memujiNya subhanahu wata’ala.
Hadits tersebut berkaitan erat dengan pembahasan kita malam hari ini dalam kitab Ar Risaalah Al Jaami’ah karya Hujjatul Islam Al Imam Ahmad Bin Zen Al Habsyi. Sebagaimana pembahasan kita masih dalam bab tentang pujian kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita fahami bahwa Allah subhanahu wata’ala menyukai pujian karena pujian itu muncul dari rasa cinta, maka Allah subhanahu wata’ala menciptakan makhluk yang paling mulia dari semua makhluk yaitu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam Muhammad yang bermakna “Yang paling banyak dipuji”, maka makhluk yang paling berhak untuk dipuji adalah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga ketika orang quraisy menamakan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dengan nama Mudzammam yang berarti “yang paling banyak dicela”, maka para sahabat sangat sedih dengan hal tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menghibur mereka dengan berkata : “Mereka (kuffar quraisy) menamakan aku dengan Mudzammam (yang banyak dicela) , namun sungguh aku adalah Muhammad (yang banyak dipuji)”, sehingga ucapan tersebut menenangkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, demikian yang teriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari. Karena yang mencela beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah segelintir orang-orang kuffar quraisy, sedangkan yang memuji beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rabbul ‘alamin subhanahu wata’ala dan semua makhluk Allah subhanahu wata’ala di alam semesta kecuali dari golongan jin dan manusia yang pendosa yang tidak memahami kecintaan dan kerinduan kepada sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita masih dalam pembahasan makna kalimat Alhamdulillah , diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat maghrib berjamaah, dan ketika beliau berdiri dari ruku’ dan mengucapkan :
?????? ????? ?????? ????????
“ Allah Maha Mendengar orang yang memujiNya”Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita hamba yang selalu memujiNya, maka berwaspadalah atas bisikan syaitan yang mangajak kita untuk bersangka buruk terhadap Allah subhanahu wata’ala, karena hal tersebut akan dipertanyakan oleh Allah meskipun seorang hamba telah berada di dalam surga. Sebagaimana Al Imam At Thabari di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ketika manusia telah masuk ke dalam surga, maka Allah subhanahu wata’ala memanggil salah satu hambaNya dan bertanya: “Wahai Fulan dahulu ketika di dunia, di tempat dan di waktu ini, engkau telah bersangka buruk kepadaKu”, maka hamba itu pun merasa risau dan takut lalu berkata : “Wahai Allah, betul di saat itu aku telah bersangka buruk terhadapMu, namun bukankah Engkau telah mengampuni dan memaafkanku?”, maka Allah subhanahu wata’ala berkata : “Aku telah mengampuninya”. Menunjukkan bahwa bersangka buruk kepada Allah adalah perbuatan yang harus ditinggalkan karena ketika telah berada di surga pun Allah masih mempertanyakan kepada hamba-hamba yang pernah bersangka buruk kepada Allah subhanahu wata’ala. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga hati kita dari prasangka buruk kepadaNya, dan menjadikan hati kita selalu asyik memujiNya, karena Allah subhanahu wata’ala mendengar hamba-hamba yang memujiNya baik dengan suara atau tanpa suara. Seluruh ciptaan Allah subhanahu wata’ala menuntun manusia untuk memuji Allah subhanahu wata’ala, baik hal itu berupa musibah atau kenikmatan yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Kita lihat kesempurnaan imana sayyidina Umar bin Khattab Ra yang berkata bahwa beliau bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala jika datang musibah kepadanya dikarenakan tiga hal, yang pertama yaitu karena musibah itu tidak menimpa imannya, namun hanya menimpa hal yang bersifat duniawi saja seperti harta, keluarga, penyakit atau yang lainnya, dan kedua karena sayyidina Umar bin Khattab meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu memberikan musibah yang lebih besar daripada musibah yang beliau terima, namun Allah subhanahu wata’ala memberikan musibah yang lebih ringan kepadanya, dan yang ketiga karena dengan datangnya musibah tersebut Allah subhanahu wata’ala menghapus dosa-dosa darinya. Demikian derajat keimanan sayyidina Umar bin Khattab ra yang sangat luhur, mungkin sangat sulit dan berat bagi kita untuk dapat mencapainya.
Maka selayaknya kita memahami ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bangun dari ruku’ “Sami’a Allahu liman hamidah” bahwa Allah subhanahu wata’ala mendengar hamba yang memujiNya. Dan ketika itu seseorang yang shalat dibelakang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan :
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Wahai Tuhan kami bagiMu segala pujian, pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah”Dan ucapan tersebut belum pernah diajrakan sebelumnya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka setelah selesai shalat Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam berkata : “Siapakah diantara kalian tadi yang telah mengeluarkan ucapan di dalam shalat ?”, namun tidak ada dari mereka yang menjawab, sampai tiga kali beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, maka seseorang kemudian menjawab : “Aku wahai Rasulullah yang telah mengeluarkan ucapan tersebut”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh 33 malaikat memperebutkan ucapan tersebut untuk dicatat”. Al Imam Ibn Hajar menjelaskan bahwa ucapan tersebut berjumlah 33 huruf, sehingga 33 malaikat memperebutkannya untuk dicatat dan kemudian disampaikan kepada Allah subhanahu wata’ala, karena malaikat belum pernah mendengar pujian seindah itu. Hal ini menunjukkan bahwa setiap huruf dalam pujian kepada Allah subhanahu wata’ala terdapat satu malaikat yang menjaganya.
Rahasia kemuliaan pujian kalimat Alhamdulillah sangatlah agung, maka layak untuk kita fahami dan kita renungkan yang mana dengan hal itu kita akan senantiasa berusaha untuk selalu memuji Allah subhanahu wata’ala atas kesempurnaanNya dan kederamawananNya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling banyak memuji Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala akan lebih banyak melimpahkan pujian kepada hamba yang memujiNya, yaitu berupa limpahan pahala yang jauh lebih besar dengan 10 kali lebih besar hingga 700 kali lebih besar dari perbuatan hambaNya, demikian penjelasan akan makna dan keagungan dari kalimat“Alhamdulillah”. Selanjutnya kita akan membahas kalimat رَبِّ الْعَالَمِيْنَ “Rabb Al ‘Alamiin”, kalimatرَبٌّ “Rabb” memiliki tiga makna, yang pertama bermakna “yang mengasuh”, sebagaimana dalam ucapan :
اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
“ Ya Allah ampunilah (dosaku) dan (dosa) kedua orang tuaku dan sayangilah keduanya, sebagaimana (kasih sayang) mereka ketika mengasuhku waktu aku kecil”Maka kalimat “Rabb” tidak hanya digunakan untuk Tuhan saja namun juga digunakan untuk manusia. Kedua kalimat “Rabb” bermakna “Yang Memiliki”, sebagaimana dalam riwayat Shahih Al Bukhari bahwa dahulu di masa jahiliyyah, para budak memanggil majikan mereka dengan panggilan “Rabbii”yang berarti “pemilikku”, secara bahasa panggilan tersebut mempunyai makna yang benar, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang para budak untuk memanggil majikannya dengan sebutan “Rabbii”, dan diperbolehkan untuk memanggilnya dengan sebutan “Sayyidi” atau“Maulaya” yang berarti “Tuanku”.
Dalam hal ini para ulama’ menjelaskan ; jika para budak telah diajari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memanggil majikannya dengan sebutan “Sayyidi” atau “Maulaaya”, maka sungguh sebutan tersebut lebih berhak untuk kita gunakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka selayaknyalah kita menyebut Sayyidina wa Maulaana Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena hal ini telah diperbolehkan bahkan diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bukanlah hal yang kultus apalagi syirik sebagaimana yang telah dituduhkan oleh sebagian orang. Adapun yang ketiga makna kalimat “Rabb” adalah “Tuhan Yang disembah”, dan ketiga makna tersebut ada pada Allah subhanahu wata’ala yaitu Yang Maha Mengasuh, Yang Maha Memiliki, dan Yang Maha Berhak Disembah. Maka tiada yang Maha Mengasuh makhluk kecuali Allah subhanahu wata’ala, dan tiada Yang Memiliki segala sesuatu kecuali ALlah subhanahu wata’ala dan tiada yang berhak dan layak disembah selain Allah subhanahu wata’ala.
Selanjutnya makna kalimat العالمين ; Al ‘alamin , memiliki beberapa makna, dan sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama’ kalimat tersebut mempunyai dua makna, pertama makna Al ‘Aalmiin adalah segala sesuatu selain Allah subhanahu wata’ala. Kedua, makna kalimat Al ‘Alamin adalah malaikat, jin dan manusia, karena kalimat ini juga dapat dibaca dengan العالمين : Al ‘Alimin, yaitu yang memilki alam pemikiran atau ilmu pengetahuan, karena makhluk-makhluk selainnya tidak banyak diberi pengetahuan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Maka makna kalimat رب العالمين : Rabb al ‘Alamin yang pertama adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mengasuh segala sesuatu selainNya, yaitu seluruh makhluk termasuk hewan, manusia, jin, atau malaikat dan lainnya. Adapun makna kalimat ?? ???????? yang kedua adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala Yang Maha memiliki, Yang Maha mengasuh malaikat, jin dan manusia, serta Yang Maha berhak disembah oleh malaikat, jin dan manusia. Demikian makna dari kalimat رب العالمين dalam pembahasan kitab Ar Risalah Al Jaami’ah oleh Al Imam Ahmad bin zen Al Habsyi Ar. Sering kita memuji Allah dengan ucapan :
اَلْحَمْدُلله رَبِّ الْعَالمَيِنَ حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ
“ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, pujian yang menyamai nikmat-nikmatNya dan mencukupi penambahanNya”Kalimat tersebut diajarkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada nabi Adam As, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat shahih ketika nabi Adam As masih berada di surga ia selalu memuji Allah subhanahu wata’ala dan bertasbih kepada Allah subhanahu wata’ala, namun setelah ia diturunkan ke bumin, maka Allah subhanahu wata’ala memerintahnya untuk bercocok tanam, berternak, memakmurkan bumi dan lainnya, sehingga nabi Adam As merasa bingung dan risau karena ia tidak lagi dapat bertasbih dan memuji Allah subhanahu wata’ala bersama para malaikat sebagaimana ketika ia di surga, maka nabi Adam As memohon kepada Allah untuk menagajarinya ucapan, yang mana dengan ucapan itu ia sama seperti di saat ia memuji Allah subhanahu wata’ala di surga, maka Allah subhanahu wata’ala mewayuhkan kepada nabi Adam As untuk membaca kalimat tersebut sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di sore hari. Maka kalimat tersebut adalah pujian dan tasbih kepada Allah subhanahu wata’ala. Dan kalimat ini juga terdapat dalam Ratib Al ‘Atthas, Ratib Al Haddad dan Al Wird Al Lathif. Sehingga jelaslah bahwa rahasia kemuliaan pujian kepada Allah subhanahu wata’ala membuat hidup kita terpuji, dan dimuliakan oleh Yang Maha Mampu memuliakan hamba-hambaNya.
Sungguh rahasia keluhuran Allah subhanahu wata’ala tersimpan dalam tuntunan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, makhluk yang peling indah dari seluruh makhluk Allah subhanahu wata’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah makhluk yang paling banyak memuji Allah subhanahu wata’ala. Semoga Allah subhanahu wata’ala menerangi jiwa-jiwa kita untuk senantiasa asyik memujiNya. Maka selayaknyalah bagi kita untuk memperbaiki keadaan di hari-hari kita untuk selalu berbuat hal-hal yang terpuji, namun bukan dengan tujuan untuk dipuji oleh makhluk akan tetapi agar dipuji oleh Allah subhanahu wata’ala. Karena jika tujuannya hanya agar dipuji oleh makhluk, maka tentunya hal tersebut adalah perbuatan sia-sia dan tidak akan mendatangkan pahala bagi kita.
Dan jika seseorang berbuat baik karena hanya ingin dipuji oleh makhluk, maka Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mampu membuat makhluk itu memujinya atau sebaliknya, sehingga jika seseorang hanya ingin dipuji oleh makhluk maka hal itu adalah perbuatan yang sia-sia. Dalam hal ini guru mulia Al Musnid Al Habib Umar bin Hafizh mengatakan bahwa hal demikian merupakan penyakit hati, yang mana penyakit-penyakit hati seperti itu tidak dapat terobati kecuali dengan tuntunan guru, maka tidak cukup hanya dengan membaca atau memperlajarinya sendiri karena hal demikian akan sulit untuk dijalani, dimana sang guru tidak hanya mengajari dengan berbicara saja, namun juga melimpahkan cahaya keberkahan tuntunan itu yang membuat sang murid mampu untuk meninggalkan hal-hal yang hina di dalam niat-niat di hati muridnya. Beliau menyampaikan sebuah hikayah bahwa seorang murid berkata kepada gurunya bahwa menjauhkan sifat tidak ingin dipuji oleh orang lain atas perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya merupakan hal yang mudah, dan dapat ia laksanakan dan tidak perlu untuk dipelajari lagi. Maka sang murid itu melewati hari-harinya dengan banyak membantu orang lain dengan cara bersedakah, sehingga setiap kali ada yang datang dan meminta bantuan kepadanya maka ia pun membantunya, dan beberapa kali datang orang sama untuk meminta bantuannya dan ia pun memberi bantuan kepada orang tersebut. Beberapa lama kemudian ia pun merasa gembira dan bangga atas perbuatan baik yang telah ia lakukan, hingga ada keinginan dalam dirinya untuk menyampaikan hal tersebut kepada gurunya.
Maka ia pun menemui sang guru dan mulai bercakap-cakap dengannya, serta ucapannya pun mulai mengarah bahwa ia telah banyak membantu orang lain. Sang murid berkata : “Di zaman sekarang begitu banyak orang yang susah”, sang guru berkata : “Iya betul”, lantas sang murid berkata lagi : “Sehingga banyak yang meminta-minta pertolongan”, sang guru kembali menjawab : “Iya betul”, kemudian ia berkata lagi : “Sampai-sampai setiap hari aku didatangi oleh orang yang sama untuk meminta bantuan dan aku membantunya”, sang guru pun tersenyum dan berkata : “Orang itu datang dan meminta-minta kepadamu aku yang menyuruhnya karena untuk mengujimu, sebagaimana engkau telah menyangka bahwa dirimu mampu melakukan perbuatan baik dengan niat-niat yang suci dan iklhas hanya karena Allah subhanahu wata’ala, namun telah terbukti saat ini engkau ingin orang lain mengetahui bahwa engkau telah berbuat banyak kebaikan, oleh sebab itu duduklah bersama guru untuk dapat mengobati penyakit-penyakit hati kita”.
Karena penyakit hati itu tidak cukup diobati hanya dengan membaca saja, namun juga perlu cahaya yang dapat menerangi jiwa hingga sifat-sifat hina itu sirna. Karena jika sifat-sifat hina itu hanya ingin diobati dengan pemahaman otakatau pemikiran kita terhadap sebuah buku, maka pemikiaran kita terlebih dahulu akan tertipu dan terjebak oleh sifat-sifat hina di hati kita, namun cahaya tuntunan yang luhur dari sang guru dapat menjadikan hati suci dan dapat membuat seseorang lupa dengan perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan yang sering membuat penyakit riya’ muncul dalam diri seseorang, dan sebaliknya selalu ingat dengan aib-aib yang ada pada dirinya. Sehingga sebanyak apapun perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang, maka Allah subhanahu wata’ala telah menerangi jiwanya sehingga ia lupa atas perbuatan-perbuatan baik yang pernah ia lakukan, bahkan ia selamat dari sifat-sifat buruk di hati, seperti sombong, riya’, sum’ah dan lainnya yang kesemuanya dapat mengikis pahala atas perbuatan baik, bahkan ia hanya sibukkan dirinya dengan cinta dan rindu kepada Allah subhanahu wata’ala, dengan cinta dan rindu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, senantiasa memperindah dirinya untuk lebih indah dihadapan Allah subhanahu wata’ala, sehingga ia lewati hari-harinya dengan hati yang suci dan luhur, dimana diam dan bicaranya adalah cahaya yang membawa keberkahan untuknya dan sekitarnya.
Selanjutnya kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala agar hati kita selalu diterangi dengan cahaya sifat-sifat yang mulia, serta menyingkirkan dari hati kita segala sifat yang hina. Kita tidak mampu untuk membersihkan jiwa kita kecuali dengan tuntunan Yang Maha Mengasuh diri kita, sebagaimana munajat dan doa Al Imam Abdullah bin ‘Alawi Al Haddad :
قَد اسْتَعَنْتُكَ رَبِّيْ # عَلَى مُدَوَاةِ قَلْبِيْ
“ Aku telah memohon pertolongan kepadaMu Wahai Rabbi untuk mengobati hatiku”Jika Al Imam Abdullah bin ‘Alawi Al Haddad menitipkan hatinya kepada Allah subhanahu wata’ala untuk diobati dan dijauhkan dari segala hal dan sifat yang tidak terpuji, maka terlebih lagi kita..
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا ...
Ucapkanlah bersama-sama
َياالله...يَاالله... ياَالله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.